Baby Fake Fair (3)
Bruk!! Tari menjatuhkan tubuhnya yang terasa lemah begitu
saja dia atas kasur. Menenggelamkan wajahnya pada tumpukan bantal di atas
kasur. Sesak. Akhirnya Tari memiringkanya kepalanya untuk mencari udara. Tari
menikmati sulitnya bernafas dari cela yang ia ciptakan. Rasa sesak itu sama
seperti rasa sesak di hatinya, mengetahui kenyataan bahwa orang yang paling ia
cintai telah memilih temanya dan orang yang menyayanginya telah ia sakiti
dengan mudah. Tari mencoba menganggap rasa sesak itu akibat dari sulitnya
bernafas dalam posisi itu, bukan sesak atas semua yang terjadi.
“Rii, kamu pasti sedih baget
pas tahu kalau dia jadian pas aku kasih kesempatan sama kamu?!”
Kata kata itu terngiang lagi di telinganya, kata kata yang mampu
membuatnya mati membisu. Untunglah saat itu kaka kelas di kasur sebelah tiba
tiba muntah, sehingga kita segara sibuk menolongnya. Dan seakan melupakan
perkataan Yuda tadi.
Tari mengangkat ponselnya keudara, masih tergantung sebuah gantungan
bintang manis pemberian Yuda. Tari tersenyum kecil sambil mengenang Yuda, yang
baru dia sadari Yuda sangat sangatla baik. Hingga ia berani mengambil keputusan
yang akan membuat hatinya terluka, demi kebahagiaan Tari.
***
Sukses! Kejadian kemaren membuat Tari terjaga semalaman, bukan karna
mengerjakan pr yang bejibun yang bahkan tak di goreskanya satu garispun di
bukunya. Tetapi karna perkataan Yuda di UKS. Dengan langkah sempoyongan Tari
keluar dari kamarnya lebih cepat dari alarmnya berbunyi. Tari segera mandi dan
bersiap berangkat sekolah, bahkan ia sudah siap sebelum ibunya selesai memasak
sarapan. “Mah, Tari berangkat!” ujarnya tidak bersemangat.
“eh Tari sarapan
dulu, nih mama lagi masak!”
“ga usah mah, Tari
belom ngerjain PR, mau nyontek di sekolah”
“emangnya jam
segini udah ada yang dateng?”
Tari melihat jam tanganya menunjukan angka 06:05, bahkan biasanya pintu gerbang saja masih di buka setengahnya. Untuk lebih meyakinkan bahwa jamnya tidak salah, Tari mengintip ke luar jendela menatap langit yang memng masih gelap, matahari masih malu malu menampakan sinarnya. Tapi tiba tiba saja tatapan Tari terpaku, kepada seorang pemuda yang bersender di pagar rumahnya di pagi buta. Sosok itu tidaklah asing bagi Tari. Jantungnya berdegup kencang, otaknya berulang kali mencoba menyangkal , tapi selalu gagal. Sosok pemuda di depan rumahnya itu adalah Angga.
Tari melihat jam tanganya menunjukan angka 06:05, bahkan biasanya pintu gerbang saja masih di buka setengahnya. Untuk lebih meyakinkan bahwa jamnya tidak salah, Tari mengintip ke luar jendela menatap langit yang memng masih gelap, matahari masih malu malu menampakan sinarnya. Tapi tiba tiba saja tatapan Tari terpaku, kepada seorang pemuda yang bersender di pagar rumahnya di pagi buta. Sosok itu tidaklah asing bagi Tari. Jantungnya berdegup kencang, otaknya berulang kali mencoba menyangkal , tapi selalu gagal. Sosok pemuda di depan rumahnya itu adalah Angga.
Beberapa pertanyaan berkutat di benak Tari. Dengan langkah ragu ragu
Tari keluar rumahnya dan menghampiri Angga.
“ga?” sapaku ragu
“eh? Tari, udah
mau brangkat?” jawab Angga yang kaget melihat keberadaan Tari.
“ehm, iya. Kamu ngapain
disini?”
“ehm, kalo ada
waktu, aku anter kamu ke sekolah ya?”
Tari benar benar bingung harus bagaimana, Tari hanya mengangguk dan
menutup gerbang rumahnya.
Selama perjalanan dari rumah Tari sampai pintu komplek tak satu pun
kata keluar dari mulut mereka berdua. Sehingga Tari memutuskan untuk angkat
bicara, “ehm, ga? Kok tumben kamu berangkat pagi? Mau nyontek PR ya? Hehehe”
Angga tertawa, suara pertama yang yang keluar dari mulutnya.
“emangnya kamu apa?
“ ejek Angga.
“yah, emang udah
wajarkan hehe..” ujar tari tak mengelak.
Keadaan sunyi lagi untuk beberapa saat sebelum kemudian Angga angkat
bicara.
“Tar? Aku udah
jadian sama Sinta” ujar Angga lemah, seakan takut memecahkan sesuatu.
Tari memang sudah tahu, tapi mendengarnya langsung dari mulut Angga
membuatnya sedikit terpukul. Namun Tari mencoba tegar, sambil tersenyum ia
berkata “iya, aku udah tahu kok! Longlast ya hehe.” Seketika Angga menghentikan langkahnya dan
menarik tangan Tari yang masih berjalan. Sontak Tari sedikit terhuyung dan
jatuh di pelukan Angga. Segera Tari melepaskan pelukan itu, ia benar benar tak
mengerti dengan apa yang ada di benak Angga. Matanya menatap Angga lurus seraya
mempertanyakan alasan Angga menariknya tadi.
Angga menunduk “maaf ri” ujarnya lirih. Tari hanya mengangguk tak lagi
mempertanyakan alasan Angga karna tak tega melihat ekspresi Angga yang terlihat
sangat merasa bersalah. Angga mengangkat kepalanya dan menatap Tari dalam
dalam, “maaf, karna aku terlalu lambat” Tari tidak mengerti ucapan Angga. Sepertinya
Anggap menyadari tanda tanya yang melayang layang di atas kepala Tari dan
meneruskan ucapanya. “Maaf, karna aku terlalu lambat menyadari kalo aku suka
kamu, maaf karna aku terlalu lambat sehingga kamu sudah ada yang punya, maaf
juga karna aku terlalu lambat menyadari isi hatimu, dan maaf aku ga bisa
mengabulkan keinginanmu, aku sudah bersama orang lain sekarang. Aku ga pantas
nyakitin orang lain lagi karna ketelmianku, aku juga ga ingin kamu merasa galau
karna keputusan aku yang terburu-buru. Aku harap aku bisa ngerti” walau ucapan
Angga sangat rancu, tapi Tari mampu menangkap maksud Angga, hatinya benar benar
terpukul, air mata yang ia tahan sedari kemarin akhirnya keluar perlahan. Tari
segera menghapus air matanya dan tersenyum “aku ngerti, ya udah aku brangkat
sekolah duluan ya” ujar Tari terdengar jelas karna terpaksa sambil menghapus
air matanya. Tari pergi meninggalkan Angga yang masih menatapnya penuh sesal.
***
Karna menangis di angkot, akhirnya Tari ke bablasan dan baru sadar
ketika sopir berteriak “bandung bandung!” Tari terbawa sampai perbatasan kota,
alhasil walau ia berangkat pagi dari rumah ia sampai di sekolah kesiangan. Saat
memasuki sekolah, pak satpam sudah menyuruhnya lari ke kelas karna bel sudah
berbunyi sekita 2 menit yang lalu. Pak satpan kali ini baik, maklum tanggal
muda.
Tari mengitip dari cela pintu kelas, guru matematika terkiller sudah
duduk di singgasananya. Dengan perasaan takut, tari mengetuk pintu dan masuk
pelan pelan. Wajah sangar bu Diah guru matematika terpajang di hadapanya,
matanya benar benar tajam. Tari hanya bisa menunduk dan duduk di bangkunya.
“eh, Ri. Dari mana
aja kamu?” ujar Yuni pelan ketika Tari duduk di sampingnya.
“ceritanya panjang
deh” kelak Tari yang merasa. Ini bukanlah saat yang tepat untuk menceritakan
kejadian pagi tadi. Walau sebenarnya ia pingin sekali cerita ke Yuni
sahabatnya.
“ya udah deh, ntar
cerita yee! Eh BTW PR udah beres belom?”
Glek! Tari benar- benar lupa tujuanya tadi datang pagi. PR itu sama
sekali belum ia sentuh, mana guru killer itu udah masuk lagi. “Aduh! Gue lupa!”
“heh? Yang bener?”
tanya Yuni kaget. Tiba tiba suara menggelaegar terdengar dari depan kelas. Bu
Diah mengetuk ngrtuk meja dengan penggaris kayu yang ukuranya satu meter, membuat penampilanya semakin
killer. “nah sekarang kumpulkan PR kalian ke depan! Bagi yang belum mengerjakan
PR keluar kelas ibu sekarang juga!”
Tari pasrah dan
segera mengambil sebuah buku dan tempat pinsilnya dan bergegas keluar kelas. Namun
saat di ambang pintu terdengar suara bu Diah menyepet Tari “udah telat, ga
ngerjain PR lagi. Mau apa anak jama sekarang ini ckckck.” Memang sakit rasanya
saat kata kata tajam itu terdengar oleh telinga Tari. Tapi mau apalagi resiko,
Tari juga tidak bisa menjelaskan alasanya tidak mengerjakan PR kan. Saat baru
saja keluar pintu kelas suara bu Diah terdengar lagi “YUDA! Ngapain kamu
keluar?” Tari membalikan badanya dan menemukan Yuda berdiri tepat di
belakangnya. “Yuda?” tanya Tari pelan sambil menatap pemuda itu yang sedang
memunggunginya. “maaf bu, Yuda juga lupa bikin PR. Kemarin ketiduran, Yuda
selesain di luar sekarang deh. Maaf ya bu maaf” ujar Yuda sambil mempertemukan
kedua telapak tanganya dan membungkuk seraya menyembah berhala dan memohon
ampun. “ya sudah, cepat. Tumben tumbenya kamu..” ujar bu diah lemah lembut
karna Yuda anak emasnya bu Diah. Yuda menutup pintu sambil cengar cengir. Dan membalikan
badanya ke arah gadis yang tadi duluan keluar kelas. Tari terkaget dengan
gerakan Yuda yang tida tiba, membuat jantungnya berdetak lebih cepat, “hehe..
tumben kamu ga ngerjain PR?!” tanya Tari dengan nada heran. Karna semua orang
tahu, kalo soal matematika Yuda ga pernah ga ngerjain PR. Yuda cengar cengir
sendiri dan mengambil kotak pensil yang Tari pegang “mikirin kamu sih” ujarnya
kilat bagai hembusan angin yang numpang lewat dan pergi menjauhi Tari. Tari
kaget, tapi dia langsung sadar dan mengejar Yuda, bukan karna ia ingin
menanyakan maksud Yuda bekata seperti itu tapi karna tempat pinsilnya di ambil
Yuda. Gimana caranya Tari ngerjain PR kalau tempat pinsilnya di ambil Yuda.
“Yudaaa
Kembaliiiin!” Tari mengejar Yuda. Yuda tersenyum licik dan mengangkat tempat
pinsil Tari tinggi tinggi. Tari meloncat loncat, mencoba mengambil tempat
pinsilnya, maklum karna Tari itu pendek. “Yuda balikiiin!” ucap Tari memelas
setelah lelah melakukan hal sia sia, loncat. Udah tau Yuda tinggi banget. Yuda
tersenyum kemenangan dan mendekatkan wajahnya tepat di hadapan wajah Tari. Sehingga
Tari harus mundur selangkah karna kaget. “aku balikin tapi kamu harus kasih
tau, kenapa kamu nangis?” Tari tak heran kenapa Yuda bisa tahu kalo dia habis
nangis, karna memang Cuma Yudalah yang selama ini mengerti dia.
“kenapa kamu bisa nyadar
sih?” ujar Tari mengalah
“bulu mata kamu
masih basah, brarti kamu baru nangis pagi ini kan?”
“bisa aja aku cuci
muka kan?”
“ga mungkin kalau
kamu cuci muka poni km juga pasti basah”
Sudah seperti detektif saja Yuda menjelaskan pengamatanya terhadap Tari.
Tari tidak menjawab kenapa ia menangis, ia ga mau Yuda tahu kejadian pagi ini. Tapi
Tari akan memberi tahu Yuda satu hal. “hehe.. kamu emang yang paling ngerti aku
yud!...” Yuda tertawa kecil, Tari meanjutkan ucapanya “kamu selalu tahu apa
yang sedang aku rasa, lagi seneng, lagi sedih atau lagi bingung. Aku juga tahu
kamu itu baik banget, kamu udah berkorban banyak buat aku, bahkan walau itu bikin
kamu sakit. Kamu rela ngelepasin aku, ya walau ga sesuai rencana. Kamu baik
banget, ga mau aku sedih, kamu selalu peduli sama aku...” Yuda tidak menyangka
arah pembicaraanya akan seperti ini, Yuda menurunkan tanganya dan menyimak Tari
baik baik. “tapi, cukup sampai di sini Yud. Aku ga mau ngebebanin kamu lagi. Aku
ga mau sakit lagi karna aku. Kamu tahukan siapa yang aku suka?! Angga. Walau semua
ga sesuai rencana, Angga udah milik orang lain, tapi aku tetep ga mau maksain
diri aku untuk ngelupain dia, aku juga ga bisa terus terusan nerima kebaikan
kamu. Lebih baik kamu cari yang lebih baik dari aku Yud. Maaf ya.. makasih buat
semuanya” Tari selesai mengutarakan isi hati dan pikiranya, melihat Yuda yang
terpaku menatapnya kosong, ia sadar Yuda benar benar terpukul, sekali lagi Tari
merasa telah menyakiti Yuda. Maaf Yud, ini yang terakhir
kalinya aku nyakitin kamu. Tari mengambil tempat pinsilnya
dari tangan Yuda dan segera pergi meninggalkan Yuda.
***
Bel pulang sudah berbunyi, sejak kejadian tadi pagi Yuda tak kembali ke
kelas. Sebenarnya Tari khawatir, tapi ia juga ga mau bertemu Yuda untuk
smentara ini. Banyak anak menanyakan keberadaan Yuda, tapi Tari hanya
menggeleng tidak tahu. Yuni membantu Tari membuat alasan agar teman teman
lainya berhenti menanyai Tari. Ya Yuni adalah satu orang lagi yang mengerti
Tari. Saat ini Tari juga merasa gelisah atas apa yang ia sudah katakan. Tari
benar benar merasa lemah.
Tiba-tiba Dimas teman sebangkunya berteriak, menanggapi seseorang yang sedang dia ajaknya bebicara di
sebrang telfon “GILA LO YUD! NGAPAIN KAMU KESANA?”
Sentak itu membuat Tari pingin tahu, setelah yakin yang sedang di ajak
bicara Dimas itu adalah Yuda.
“YUD! YUD! HEY?” teriak Dimas sekali lagi pada telfon genggamnya. “AH
SIAL!” nampaknya Yuda telah memutus telpon secara sepihak di sebrang sana.
Buru buru Tari menghampiri Dimas “ada apa dim? Yuda dimana?” tanya Tari
cemas tanpa basa basi.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan komentar agar penulis semakin semangat ya, terimakasih sudah berkunjung :)