Water's Tears
Cinta kita seperti air
Kadang mengalir, kadang tersumbat, kadang terlalu deras. Kadang juga dia menjadi penyejuk, menjadi berkah, tetapi suatu saat bisa menjadi bencana. Mengapa?
Air,
Aku mencintaimu, seperti cintaku padanya. Aku dan dia seperti air. Namum karena berwujud cair, maka molekulnya gampang terpisah. Kita bagaikan molekulnya.
Air,
walau tidak di sembarang tempat mengalir air yang banyak, tapi dia bagaikan air yang selalu ada, tergenang, mengalir, menyumbat, di hatiku selalu...
Wirajaya Sangkerta
X sosial 2
Membaca tulisannya yang rapi ditulis dengan pena berwarna ungu dan kertas pink yang sangat mencolok, Air tertawa hambar di depan mading itu. Wira, sang ketua Osis SMA Hijau. Lelaki yang misterius yang tidak bisa ditebak perasaannya.
Tapi Air tau, semua orang pun tau, kalau mereka, Wira dan Air saling mencintai.
Air menusuri mading kembali setelah membaca puisi norak itu, tapi harus ia akui, itu puisi teromantis yang pernah Wira beri untuknya. Tidak jauh dari surat tadi, Air menemukan kiriman Wira lagi, tapi kali ini hanya berupa guntingan majalah entah dari mana.
Guntingan itu berisikan ramalan bintang Aquarius, bintangnya Air. Ada yang digarisbawahi di situ. Kalimat tentang kalau Aquarius itu cocoknya dengan Virgo, dan Virgo itu bintangnya Wira. Air tertawa hambar kembali.
Selama ini wira sering memberinya puisi atau artikel yang menunjukan perasaannya pada Air. Tapi sayangnya, hanya lewat tulisan, bukan kata-kata yang keluar dari bibirnya yang menawan. Bahkan kirim sms pun Wira tidak pernah. Entah kenapa, dia hanya memberanikan dirinya lewat mading.
“Kiriman baru nih,” Bayu, teman Wira mendekat sambil membaca puisi Wira.
“Iya, bulan ini setiap minggu dia ngirim tulisan noraknya,” Air mengarahkan matanya pada setiap tulisan di sana, pikirannya sibuk sendiri.
“Norak?” tanya sang pembawa berita dari Wira itu. Air pun mengangguk. “Hm. Norak tapi kamu suka kan?”
“Hell yeah. Gimana aku mau suka kalo selama ini dia gak pernah ngomong apa-apa. Bahkan sms pun dia gak pernah,” Air menerawang, tatapannya kosong dan hampa.
“Kamu gak ngerti ini semua.. kalo udah waktunya, pasti dia bilang kok! Aku janji gak lama ini!” janji Bayu.
“Aku pegang janji kamu,” kini Air menatap Bayu. “Kalo boong kamu harus nyanyi iwak peyek di tengah lapang.” Air pun pergi dari mading itu. Dan Bayu hanya bengong menyesali perkataannya.
Air merasa sedih, rasanya ini Cuma cerita cinta gantung. Walau awalnya Air senang setengah mati karena dapat kabar dari Bayu bahwa semua puisi yang ada di mading itu untuk Air. Tapi dia tidak pernah berkata apa pun, bertatapan saja membuat mereka mulas.
Kini Air berada di depan perpustakaan, dia duduk di tempat yang tepat. Karena depan perpustakaan adalah tempat banyaknya bunga hias dan wanginya yang membuat hati tenang. Air bersandar dengan kening berkerut. Mana udah istirahat ini ulangan matematika tentang Bangun Dimensi Tiga lagi, sial.
Tiba-tiba anak kecil berbaju SD menghampiri Air, dia anak ibu kantin. Bocah manis bermata belo ini membawa bunga warna kuning. Air berasumsi aneh.
“Untuk Kaka yang lagi galau tapi tetep cantik,” bocah itu memamerkan giginya yang bolong namun tetap imut. Air akhirnya tertawa.
“kamu dapet dari mana? Kenapa tau kakak suka warna kuning?”
“Bukan dari aku. Tapi dari kakak yang ada di perpustakaan yang pake kacamata, tinggi rambutnya rancung.. apa lagi ya..” dari ciri-ciri orang itu, Air sudah tau kalau itu Wira. “Pokoknya ganteng kak!” Air tertawa lagi. “Udah ya kak, mau pulanh, dah..”
“Makasih ya ade...” Bocah itu pergi. Air menatap bunga itu. Tekad Air untuk menunggu Wira bicara semakin bulat. Karena di hatinya kini hanya ada Wira, dan itu yang pertama. Air pertama jatuh cinta hanya dengan Wira. Akhirnya Air bangkit untuk menuju kelas. Tapi sebelumnya Air mengamati pintu perpustakaan yang terbuka, tidak terlihat ada Wira di sana. Entah dari mana Wira tau kalau dia sedang galau, sudahlah. Dia memang misterius.
Air melewati koridor yang sepi, hanya ada beberapa orang yang nongkrong. Air berjalan sambil memperhatikan mawar kuning yang wangi itu, dia jadi senyum-senyum sendiri. Saat melihat lurus ke depan, ternyata dari arah yang berlawanan, Wira berjalan menuju Air. Air langsung kaget dan menggenggam erat tangkai mawar yang tidak berduri itu.
Dari jauh, Wira terlihat tegang, begitu pun Air. Perut Air mulas, ini bukan yang kesekian kali. Tapi untuk kali ini Air memberanikan diri untuk terus menatap Wira dan tersenyum. Dari sana pun Wira tersipu malu dan menunduk.
Mereka kini sudah berhadapan namun masih ada jarak yang tidak tepat untuk bicara, siap tempur dengan perut mulasnya. Jantung berdebar kencang, darah mereka memanas.
Saat sudah mulai dekat dan pas, Wira malah terus berjalan melewati Air dengan wajah menunduk. Membuat senyuman Air memudar dan menggigit bibir. Air tetap terpaku di tempatnya, menyesali sudar berdebar dengan percuma. Air melihat ke belakang dan mendapati Wira sedang diam terpaku juga. Melihat punggungnya yang bidang hanya membuat Air sedih, maksudnya apa, memberinya bunga, mengirim puisi-puisi yang konyol tapi tidak bisa bekata satu kata sekalipun. Akhirnya Air pergi tanpa berbalik lagi. Tapi saat Air pergi, Wira berbalik dan melihat sosok Air menjauh.
Kebahagiaan selalu mengunci mulut mereka.
***
karya : Diah Sekar Arum
Kadang mengalir, kadang tersumbat, kadang terlalu deras. Kadang juga dia menjadi penyejuk, menjadi berkah, tetapi suatu saat bisa menjadi bencana. Mengapa?
Air,
Aku mencintaimu, seperti cintaku padanya. Aku dan dia seperti air. Namum karena berwujud cair, maka molekulnya gampang terpisah. Kita bagaikan molekulnya.
Air,
walau tidak di sembarang tempat mengalir air yang banyak, tapi dia bagaikan air yang selalu ada, tergenang, mengalir, menyumbat, di hatiku selalu...
Wirajaya Sangkerta
X sosial 2
Membaca tulisannya yang rapi ditulis dengan pena berwarna ungu dan kertas pink yang sangat mencolok, Air tertawa hambar di depan mading itu. Wira, sang ketua Osis SMA Hijau. Lelaki yang misterius yang tidak bisa ditebak perasaannya.
Tapi Air tau, semua orang pun tau, kalau mereka, Wira dan Air saling mencintai.
Air menusuri mading kembali setelah membaca puisi norak itu, tapi harus ia akui, itu puisi teromantis yang pernah Wira beri untuknya. Tidak jauh dari surat tadi, Air menemukan kiriman Wira lagi, tapi kali ini hanya berupa guntingan majalah entah dari mana.
Guntingan itu berisikan ramalan bintang Aquarius, bintangnya Air. Ada yang digarisbawahi di situ. Kalimat tentang kalau Aquarius itu cocoknya dengan Virgo, dan Virgo itu bintangnya Wira. Air tertawa hambar kembali.
Selama ini wira sering memberinya puisi atau artikel yang menunjukan perasaannya pada Air. Tapi sayangnya, hanya lewat tulisan, bukan kata-kata yang keluar dari bibirnya yang menawan. Bahkan kirim sms pun Wira tidak pernah. Entah kenapa, dia hanya memberanikan dirinya lewat mading.
“Kiriman baru nih,” Bayu, teman Wira mendekat sambil membaca puisi Wira.
“Iya, bulan ini setiap minggu dia ngirim tulisan noraknya,” Air mengarahkan matanya pada setiap tulisan di sana, pikirannya sibuk sendiri.
“Norak?” tanya sang pembawa berita dari Wira itu. Air pun mengangguk. “Hm. Norak tapi kamu suka kan?”
“Hell yeah. Gimana aku mau suka kalo selama ini dia gak pernah ngomong apa-apa. Bahkan sms pun dia gak pernah,” Air menerawang, tatapannya kosong dan hampa.
“Kamu gak ngerti ini semua.. kalo udah waktunya, pasti dia bilang kok! Aku janji gak lama ini!” janji Bayu.
“Aku pegang janji kamu,” kini Air menatap Bayu. “Kalo boong kamu harus nyanyi iwak peyek di tengah lapang.” Air pun pergi dari mading itu. Dan Bayu hanya bengong menyesali perkataannya.
Air merasa sedih, rasanya ini Cuma cerita cinta gantung. Walau awalnya Air senang setengah mati karena dapat kabar dari Bayu bahwa semua puisi yang ada di mading itu untuk Air. Tapi dia tidak pernah berkata apa pun, bertatapan saja membuat mereka mulas.
Kini Air berada di depan perpustakaan, dia duduk di tempat yang tepat. Karena depan perpustakaan adalah tempat banyaknya bunga hias dan wanginya yang membuat hati tenang. Air bersandar dengan kening berkerut. Mana udah istirahat ini ulangan matematika tentang Bangun Dimensi Tiga lagi, sial.
Tiba-tiba anak kecil berbaju SD menghampiri Air, dia anak ibu kantin. Bocah manis bermata belo ini membawa bunga warna kuning. Air berasumsi aneh.
“Untuk Kaka yang lagi galau tapi tetep cantik,” bocah itu memamerkan giginya yang bolong namun tetap imut. Air akhirnya tertawa.
“kamu dapet dari mana? Kenapa tau kakak suka warna kuning?”
“Bukan dari aku. Tapi dari kakak yang ada di perpustakaan yang pake kacamata, tinggi rambutnya rancung.. apa lagi ya..” dari ciri-ciri orang itu, Air sudah tau kalau itu Wira. “Pokoknya ganteng kak!” Air tertawa lagi. “Udah ya kak, mau pulanh, dah..”
“Makasih ya ade...” Bocah itu pergi. Air menatap bunga itu. Tekad Air untuk menunggu Wira bicara semakin bulat. Karena di hatinya kini hanya ada Wira, dan itu yang pertama. Air pertama jatuh cinta hanya dengan Wira. Akhirnya Air bangkit untuk menuju kelas. Tapi sebelumnya Air mengamati pintu perpustakaan yang terbuka, tidak terlihat ada Wira di sana. Entah dari mana Wira tau kalau dia sedang galau, sudahlah. Dia memang misterius.
Air melewati koridor yang sepi, hanya ada beberapa orang yang nongkrong. Air berjalan sambil memperhatikan mawar kuning yang wangi itu, dia jadi senyum-senyum sendiri. Saat melihat lurus ke depan, ternyata dari arah yang berlawanan, Wira berjalan menuju Air. Air langsung kaget dan menggenggam erat tangkai mawar yang tidak berduri itu.
Dari jauh, Wira terlihat tegang, begitu pun Air. Perut Air mulas, ini bukan yang kesekian kali. Tapi untuk kali ini Air memberanikan diri untuk terus menatap Wira dan tersenyum. Dari sana pun Wira tersipu malu dan menunduk.
Mereka kini sudah berhadapan namun masih ada jarak yang tidak tepat untuk bicara, siap tempur dengan perut mulasnya. Jantung berdebar kencang, darah mereka memanas.
Saat sudah mulai dekat dan pas, Wira malah terus berjalan melewati Air dengan wajah menunduk. Membuat senyuman Air memudar dan menggigit bibir. Air tetap terpaku di tempatnya, menyesali sudar berdebar dengan percuma. Air melihat ke belakang dan mendapati Wira sedang diam terpaku juga. Melihat punggungnya yang bidang hanya membuat Air sedih, maksudnya apa, memberinya bunga, mengirim puisi-puisi yang konyol tapi tidak bisa bekata satu kata sekalipun. Akhirnya Air pergi tanpa berbalik lagi. Tapi saat Air pergi, Wira berbalik dan melihat sosok Air menjauh.
Kebahagiaan selalu mengunci mulut mereka.
***
karya : Diah Sekar Arum
udah baca :P
BalasHapuslihat sedikit scroll bawah ternyata emang punyanya si Diah
emang kan udah izin publish hehe
Hapus