"A" For Him, Always..

Aku tau dia akan datang! Tapi apakah ini mimpi? Jika ini mimpi pasti aku sekarang sedang terbangun dan di depan tv ku sudah ada drama korea seperti adegan sekarang ini! Aku menatapnya lekat bagai pertama bertemu. Dia tersenyum manis, aku jatuh cinta padanya. Ya, lebih tepatnya lagi aku selalu jatuh cinta pada senyuman wibawanya. Aku membalas senyumnya dari sini. Dan aku segera menghampirinya yang sedang ada di depan gerbang rumahku, dengan membawa setangkai bunga mawar merah. Aku tau, hari ini akan terjadi! Aku berlari kecil sambil terharu. Dia tetap tersenyum ketika aku menghampirinya.
“Hai,” sapanya dengan senyum dahsyatnya. Aku tersenyum terpana, aku sangat mencintainya. Ku lihat dia membawa motor ninja merah-nya yang sudah lama aku rindukan untuk duduk di sana, mungkin selama belasan hari ini dia sudah membawa cewek lain selain aku, ya—maksudku berboncengan sebagai teman. Angin dengan genitnya membelai rambut Gery—cowok di depanku ini sehingga kharisma memantulkan sinar bias yang membuat mataku perih, aku menangis.
“Hei, kamu kenapa?” tanya dia khawatir sambil mengusap air mataku. Aku hanya menggeleng tersenyum dan melihat bola matanya bagai lampu pijar 100 watt.
“Saya tau kamu bakal ke sini, kamu sudah baca surat saya?” aku berharap ini wala topik yang bagus.
“Berhenti bilang kata ‘saya’, aku ingin kita akrab setalah ini, ya—tepatnya stelah membaca surat dari kamu,” katanya agak canggung. Jantungku langsung memompa darah lebih cepat senhingga aku bisa merasakan lairan darahnya mengalir panas. “Aku..” dia sedang memilih diksi yang tepat. Aku tau saat menyatakan cinta itu sangat sulit untuk memilih konotasi atau denotasi yang tepat sehingga akan terdengar nyaman di telinga dan mengharukan hati.
Aku memandang sekitar, dingin. Banyak awan yang turun untuk menguasai bumi dan membuat pandangan terbatas, tapi kini Gery ada di depanku dan mungkin akan selalu bersamaku. “Ke dalam yu, dingin di luar sini, bentar lagi hujan akan mengeroyoki kita..”
“Ja-jangan, aku Cuma mau bentar di sini!” dia menggenggam tanganku dan mentapku lekat seakan mau memakanku. Udara yang dingin mungkin sudah membuat otaknya beku, sehingga beberapa saat kemudian Dia menyentuh pipiku lembut, entah dari detik ke berapa bibirnya dengan lembut menimpa bibirku. Aku makin merasakan aliran darah yang berdesir dan panas, berdebar dan hilang akal. Kini aku sudah tidak bisa merasakan dingin lagi.
“Gery..” gumamku bingung.
“Ma-maaf.. ini sebenernya gak pantas buat aku atau buat kamu, tapi..” dia memberikan setangkai bunga itu dan mengatakan, “Maaf...”
Aku menerimanya dan semakin linglung dengan ini, tadi dia menciumku tapi dia bilang maaf padaku, kenapa? Aku takut kalau-kalau aku punya virus yang akhirnya menular lewat bibirnya. “Kenapa?”
“Maaf.. aku- mencintai- seseorang,” katanya terbata-bata, membuat setiap kata menjadi pisau di dadaku. Ada apa ini? Dia menciumku tapi tidak mencintaiku?. “Tapi.. bukan berati aku tidak mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, dan—tapi.. ini harus di selesaikan, aku mencintaimu, tapi kamu tau kan—“
“Apa karena perbedaan keyakinan buat kita jauh?” aku mulai terisak, mengingat kalau hari-hari yang kita lewati adalah berbagi hal positif tentang keyakinan masing-masing. Dan akhirnya surat yang aku berikan padanya menjadi perantara pengungkap yang aku rasakan padanya selama 1 tahun lebih ini di SMA. “Karena perbedaan keyakinan?” tanyaku sambil mulai meneteskan air mata.
“Ya,” katanya tegas tapi tetap canggung dan mentapku nanar. “Aku sangat mencintai agamaku, dan aku harus mencintai wanita dari agamaku juga, ya—“ dia semakin tidak tega melihat aku menangis dan langsung memelukku erat. “Tapi aku mencintaimu,” lanjutnya parau. Aku tidak bisa melakukan apa-apa, hanya terdiam dan merasakan jantungnya berdebar di telingaku.
“Kita, tetap teman kan? Setelah ini?” aku bertanya hati-hati masih dalam isakan. Dia membelai rambutku yang panjang.
“Ya, mungkin, tapi pacarku akan marah mungkin jika dia tau hari ini terjadi, tuhan pasti akan memberitahukan pada dia,” dia agak melumerkan suasana dengan candaan, tapi aku anggap itu serius. “Kita tetap akan berteman, tapi dalam jarak jauh, karena aku akan pindah—maaf..” aku merasakan dia tertunduk.
Masih dalam pelukannya, aku mendengar perkataan yang menyakitkan itu, seakan tidak puas aku terluka 2 kali. Aku memejamkan mata dan mencoba tegar sambil menikmati harumnya yang khas, wangi bayi, itu parfum yang selalu dipakainya. Dia melepaskan pelukannya. Membuatku sadar, aku bukan miliknya sekarang, atau—sampai kapan pun.
“Ya, hari sudah mau gelap, aku harap kita bisa bertemu di lain waktu dalam keadaan tidak saling mencintai,” dia berkata tegas walau menggigit bibirnya sendiri. Dia mendekat ke telingaku dan berkata, “Ana Ukhibu ilaika,” bahasa arab yang tidak fasih, aku terkekeh walau tau maksudnya.
Dia menatapku hangat, dan akhirnya menaiki motor lalu sekali lagi tersenyum padaku—senyum perpisahan, aku membenci senyumnya yang aku sukai. Aku masih membendung air mata dan menumpahkanya. Mawar yang dia beri aku pegang erat ketika dia menjauh pergi di telan kabut, dia pergi, menghilang.
Wanginya masih terasa lekat dihidungku, aku mencintainya. Aku berharap dia kembali dan berkata AprilMop atau AprilMob, atau apalah-- karena ini tanggal 1 april, tapi dia tak kunjung kembali. Saat dia pergi, aku takut akan lupa wajahnya kelak, dan lagu Dewa—pupus terngiang di telingaku sekarang, sampai kapanpun— "A" for him.

karya : Diah Sekar Arum

Komentar

Populer