It's Me #1



ini cerita pertama, tapi bukanlah awal dari kisahku. Disini aku akan mengubah sudut pandang dari cerita ku sebelumnya “putih abu abu”

Ini bukanlah pertama kalinya aku menginjakan kaki di sekolah ini, ini juga bukan kali pertama aku menyandang status sebagai anak baru. Semua ini pernah aku alami sekali sewaktu SD. Masuk ke lingkungan baru, bertemu dengan orang  orang baru dan memulai cerita baru. Namun kali ini rasanya berbeda, mungkin kepindahanku yang dulu tidak begitu berarti untuk anak berumur 8 tahun yang baru saja menduduki bangku kelas 3 SD padahal kepindahanku yang dulu sangat mendadak dan tidak di rencanakan. Tapi aku bisa dengan mudah beradaptasi dengan lingkunganku yang baru di sekolah yang baru. Menghabiskan sebagian masa kanak kanakku disana.  Meski kepindahanku kali ini sudah sangat terencana, sejak 2 tahun sebelumnya. Rasanya begitu mendadak, mungkin karna anak berumur 16 tahun sudah mengerti arti pertemanan. Rasanya sulit sekali berpisah dengan teman teman dan tanah kelahiran. Kebingungan sempat melandaku untuk beberapa minggu, memperhitungkan segala faktor dari kondisi yang ada, menguatkan hati akan segala resiko. Hingga berkali kali aku terjatuh karna kehilangan harapan. Bukan hanya teman dan tanah kelahiranku, tapi pendidikanku di sana bisa di bilang lebih baik. Tapi semua faktor itu langsung kalah ketika di bandingkan dengan “keluarga.” Pilihan yang sangat sulit, dan aku telah memutuskan untuk pindah. Dengan mengambil segala resiko yang ada. Kehilangan. Banyak. Tapi aku yakin di kehidupanku yang baru nanti aku akan menemukan sesuatu yang dapat menggantikannya.

Semua ini memang ada hikmahnya, jika saja aku tidak pindah. Aku tidak akan tahu apa tujuan hidupku kelak. Dan alasanku memilih IPA sebagai jurusan pendidikanku saat ini. Setelah melewati beberapa masalah tentang sekolahku, dimana tidak ada sekolah yang memiliki standar yang sama dengan sekolahkku dulu yang mau menerimaku masuk IPA. Hal itu adalah salah satu faktor kebimbanganku saat itu, saat aku harus memilih pindah atau menetap. Aku seperti di hadapkan pada pilihan yang sangat berpengaruh pada masa depanku, orang tuaku sudah menyodorkan hal hal positif dari IPS sedikit mengubah cara pandangku pada IPS tapi apa daya hatiku benar benar tak suka pelajaran IPS. Walau aku pun tak terlalu baik di bidang IPA. Untunglah aku menemukan sekolah yang berbeda dari yang lain, awalnya mereka memang tak menerimaku masuk IPA dengan beberapa alasan. Tapi aku sungguh sungguh tertarik dengan sekolah itu. Karna sekolah itu berbeda.

Sekolah baruku ini memang tak berada pada pusat kota, sekolah baruku berada pada komplek tentara angkatan udara yang menyebabkan sekolah tersebut tidak di izinkan membangun bangunanya menjadi 2 lantai atau lebih, dan itu juga yang menyebabkan sekolah baru ini sangat sangat luas. Berbeda dengan sekolah sekolahku dulu yang ada di pusat kota, sekolah itu kecil hanya terdiri dari satu lapang serbaguna yang di kelilingin bangunan kelas bertingkat. Tapi di sini, di sekolah baruku aku bisa menemukan lebih dari 5 lapangan di depan, tengah dan belakang sekolah serta koridor koridor yang di kelilingi taman kecil. Itulah daya tarik sekolah baruku.

Aku menginjakan kaki di sekolah itu lagi, kali ini aku resmi menjadi siswi SMA tersebut, TRITAS begitulah orang orang menyebut sekolah baruku. Meski harus menyebrang rel kereta dan berjalan di jalan khusus menuju TRITAS melewati sawah di bagian kanan dan kirinya. Dengan membaca ini mungkin kamu akan mengira betapa kampunganya sekolah itu. Tapi percayalah walau deskripsinya memang seperti itu tapi saat kamu hadir disana kamu tidak akan beranggapan bahwa sekolah itu kampungan. Pemandangan yang sangat asri itu berpadu dengan teknologi yang lumayan canggih untuk mengabsen siswanya dengan sidik jari. Lapang parkir yang luas selalu di penuhi kendaraan bermotor yang tak kalah modern. Semua berpadu harmoni. Itulah daya tarik sekolah baruku yang kedua.

Hari itu aku langsung menuju kelasku yang dulu sempat di beritahukan oleh guru kesiswaan saat aku mendaftar sebagai siswa baru. Gedung ke lima sebelah kiri dari koridor utama. Lumayan jauh dari gerbang, sepertinya jika aku kesiangan aku akan benar benar merasa kelelahan saat berlari menuju kelas. Hari itu hari pertama tahun ajaran baru, sehingga kegiatan KBM belum di mulai, aku menyapa beberapa orang tepat di depan pintu kelasku. XI IPA 5. Aku berkenalan dan mengatakan bahwa aku adalah siswi baru. Mereka menyambutku ramah. Mempersilahkanku duduk bersama. Teman pertamaku adalah Pipit. Teman sebangkuku. Awalnya kami sama sekali tidak bisa ngobrol akur, yang mungkin berkendala di bahasa. Aku tidak begitu fasih berbahasa sunda, bahasa yang lazim di gunakan di kota baruku. Tasikmalaya, yang merupakan daerah sunda. Aku sebenarnya orang sunda juga, tapi sedari kecil aku tak terbiasa menggunakan bahasa sunda.
Namun seiring dengan waktu dia menjadi teman dekatku. Teman dekatku yang lain bernama Nita, aku kenal denganya saat kami bertemu di daerah Citapen dimana daerah itu adalah pusat kota tempat orang naik turun angkot. Ternyata kami satu jurusan, sehingga kami sering pulang bersama.
Dan tentu saja aku mulai mengenal semua teman teman sekelasku.

Aku cukup di kenal  di kelas lain, mungkin karna kabar mengenai siswa baru cepat beredar dan beberapa dari temanku di kelas duka mengajaku main dengan teman teman kelas lama mereka. Walau ketika mereka bersama teman temannya aku hanya berdiam mendengarkan dan menanggapinya dengan senyum menghargai. Jujur saja aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Terkadang aku merasa kesepian di tengah keramaian, kericuhan yang terjadi di sekitarku, membuatku sangat merindukan teman teman lamaku. Aku sering mengirimi mereka pesan, awalnya memang banyak topik yg kita bicarakan tapi semakin lama topik pembicaraan kami semakin berbeda. Aku merindukan mereka.

Komentar

Populer